Pada usia 19 tahun, Cholpon Matayeva dibekap, diseret, dan diculik oleh lelaki yang sama sekali tak dikenal. Laki-laki tersebut kemudian tersebut menjadi suaminya.
Kisah Cholpon tersebut terangkum dengan jelas dalam liputan BBC Indonesia (12/12/12). Cholpon tidak bisa menentang praktik yang lumrah berlaku di masyarakat, sehingga mau tidak mau, ia harus menerima kenyataan pahit hidup sebagai seorang perempuan. Tradisi apakah itu?
Tradisi menyeramkan tersebut adalah tradisi bride kidnapping (penculikan mempelai) di Kyrgyzstan, Asia Tengah. Tak hanya menyeramkan, tradisi ini juga patriarkis sebab target penculikan utamanya adalah perempuan. Bahkan, perempuan di bawah umur pun dapat menjadi korban penculikan pengantin ini.
Penculikan tersebut bukan sekedar penculikan rekaan yang direncanakan untuk ritual pernikahan. Akan tetapi, menurut pengakuan masyarakat Kyrgyzstan yang dilansir melalui akun youtube @ViceIndonesia, penculikan yang dilakukan kepada mempelai perempuan tersebut tak ubahnya tindak pidana penculikan. Tidak ada kesepakatan antara perempuan korban penculikan dan penculik yang menjadi pengantinnya. Pada beberapa kasus, seorang laki-laki bahkan bisa menculik perempuan yang sama sekali tidak ia kenali untuk dinikahi.
Melalui video itu pula, keresahan yang dialami oleh orang tua perempuan di Kyrgyzstan terlihat jelas. Hal itu karena banyak kasus bunuh diri, aborsi yang terjadi akibat korban tidak bahagia atas pernikahan yang dilakukan. Lebih dari itu, mereka juga tertekan secara fisik maupun psikis akibat peristiwa yang mereka alami tersebut.
Lain cerita dengan Cholpon, pada tahun 2018, dua perempuan bernama Aizada Kanatbekova dan Burulai Turdaaly Kyzy tewas dibunuh oleh para penculik karena menolak pernikahan.
Sejalan dengan itu, menurut penelitian, bayi dari korban bride kidnapping 80-190 gram lebih kecil dari berat bayi pada umumnya. Berat lahir yang kecil ini membuat bayi lebih rentan terhadap penyakit. Menurut studi Charles Backer, kemungkinan hal ini diakibatkan oleh stress dan trauma yang dialami oleh sang ibu. Tak hanya itu, buruknya layanan akses kesehatan juga memperparah kondisi perempuan setelah perkawinan.
Menurut data Commission on Security and Cooperation in Europe (CSCE) pada 2017, ada 12.000 perempuan muda yang menjadi korban penculikan pengantin setiap tahunnya. Dari data tersebut, 1 dari 5 korban diperkosa dalam proses penculikan. Tidak hanya itu, studi Nedoluzhko dan Agajanian (2015) menyebutkan bahwa 16-23% atau 1 dari 5 perempuan di Kyrgyzstan menjadi korban penculikan pengantin ini. Korban biasanya adalah perempuan muda dengan rata-rata usia 19 tahun.
Lebih lanjut, CSCE menyebutkan bahwa sebanyak 60% perkawinan yang dilakukan secara paksa tersebut berakhir dengan perceraian.
Dengan data tersebut, dapat dipahami bahwa tradisi pemaksaan perkawinan semacam ini menjadi salah satu masalah berat bagi perempuan, khususnya di Kyrgyzstan. Lebih dari itu, tradisi pemaksaan perkawinan dalam bentuk apapun, merugikan perempuan, baik secara mental, fisik dan psikis.
Tradisi yang menyengsarakan perempuan
Pada hakikatnya, perempuan dan laki-laki adalah makhluk yang sama. Nur Rofi’ah, dalam bukunya yang berjudul Nalar Kritis Muslimah, menjelaskan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan hanya terletak dari bentuk fisik dan biologis yang dimiliki keduanya. Di luar itu, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk memilih kehidupan, belajar, bahkan memilih untuk menikah. Sayangnya, kesempatan tersebut tak sedikit diatur oleh tradisi dan sistem sosial yang patriarkis yang tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk merdeka.
Tradisi penculikan di Kyrgyzstan tersebut merupakan contoh konkretnya. Sebab, hal itu merupakan pemaksaan atas kehendak yang seharusnya dipilih oleh perempuan. Apalagi, penculikan yang dilakukan biasanya disertai dengan kekerasan, penganiayaan, hingga pemerkosaan.
Tradisi yang tidak sejalan dengan aspek kemanusiaan semacam ini sudah sepatutnya dibumihanguskan, tidak lagi dibudayakan. Oleh karena itu, sejalan dengan penegakan hukum, kita wajib mengupayakan kesadaran untuk menciptakan budaya yang ramah dan adil gender di manapun kita berada. Sehingga, perempuan dapat hidup merdeka tanpa was-was karena ada hukum dan budaya yang selalu memayungi langkahnya.
Sumber bacaan:
Aulia Rahmad, Peran National Federation Of Female Communities Of Kyrgyzstan (Nffck) Dalam Melawan Tradisi Ala Kachuu Di Kirgistan, “ JOM FISIP” Vol. 8: Edisi II Juli-Desember 2021
Nur Rofi’ah, “Nalar Kritis Muslimah” (Jakarta: Afkaruna, 2021)
ww.csce.gov/international-impact/bride-kidnapping-kyrgyz-republic
https://www.liputan6.com/news/read/467406/tradisi-aneh-kyrgyzstan-culik-perawan-untuk-dikawin-paksa
https://www.reuters.com/article/us-kyrgyzstan-women-bride-kidnapping-idUSKBN1AH5GI
Kategori
Feature
Pendekatan
Penegakan Hukum
Topik
Gender, Pemuda, Penguatan HAM, Pemberdayaan Masyarakat
Admin K-Hub
Share this blog
Saat ini kami sedang memperbaharui konten di dalam platform; mungkin kamu akan menemukan beberapa informasi yang masih dalam tahap pengembangan, tetapi kami akan segera siap!
Cari tahu lebih lanjut tentang K-Hub?